Tradisi Lebaran Ketupat di Indonesia 7 Hari Setelah 1 Syawal

oleh -0 Dilihat
tradisi lebaran ketupat
Ketupat

Diskursus Network – Bagi sebagian muslim di Indonesia menjalankan sunah puasa 6 hari setelah 1 Syawal menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri, salah satu luapan syukur dan kebahagiaan masyarakat di berbagai daerah di Nusantara ini yaitu dengan digelarnya sebuah tradisi unik dan beragam diantaranya tradisi lebaran ketupat yang biasa digelar pada 8 Syawal dalam kalender hijriyah.

Tradisi yang khas di beberapa daerah di Indonesia di mana perayaan Lebaran dilakukan lagi, tujuh hari setelah 1 Syawal, dikenal sebagai Lebaran Ketupat atau Lebaran Syawal kedua. Perayaan ini memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri di tiap daerah, yang menggambarkan kekayaan budaya dan tradisi lokal.

Dalam era Walisongo, Lebaran Ketupat tidak hanya merupakan perayaan, tapi juga sebuah momen selamatan, yang hingga kini masih dipandang sebagai cara untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan memperkuat silaturahmi.

Pengertian dan Makna dari Lebaran Ketupat

Kata “ketupat” berasal dari kata Jawa “papat” yang berarti empat, mengacu pada salah satu rukun Islam tentang puasa, sementara “kupat” berarti “laku papat” atau empat tindakan. Empat tindakan tersebut adalah:

  1. Lebaran: menandai berakhirnya bulan Ramadan,
  2. Luberan: melambangkan kelimpahan dan berbagi rezeki,
  3. Leburan: simbol dari pengampunan dosa melalui permintaan maaf,
  4. Laburan: berkaitan dengan pemutihan dinding rumah sebagai simbol menjaga kebersihan lahir dan batin.

Filosofi lain dari ketupat adalah penggunaan janur (daun kelapa muda) sebagai pembungkus, yang dalam bahasa Arab berarti “seberkas cahaya terang,” melambangkan harapan mendapatkan petunjuk dari Allah.

Jawa: Tradisi Lebaran Ketupat

tradisi lebaran ketupat
Hidangan Lebaran Ketupat

Di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tradisi Lebaran Ketupat dirayakan seminggu setelah Idulfitri. Tradisi ini berkaitan dengan pembuatan ketupat, yang simbolisasi dari bersihnya hati setelah bulan Ramadhan.

Tradisi Lebaran Ketupat telah menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia sejak zaman Kesultanan Demak pada abad ke-16. Tradisi ini terus berlangsung dan masih dipraktikkan hingga kini, menunjukkan kelestariannya.

Awalnya, Lebaran Ketupat digunakan sebagai metode untuk menyebarkan Islam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa, dan sangat terkait dengan Sunan Kalijaga, salah satu dari Walisongo. Sunan Kalijaga mempopulerkan istilah “Bakda Lebaran” dan “Bakda Kupat,” yang keduanya berarti kegiatan yang dilakukan setelah Idul Fitri.

Keluarga dan kerabat berkumpul kembali untuk menikmati ketupat yang disajikan dengan berbagai lauk seperti opor ayam, rendang, dan lainnya. Ini adalah saat bagi mereka yang tidak bisa pulang pada hari pertama Idul Fitri untuk berkumpul bersama keluarga.

Lombok: Topat War

Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, ada tradisi yang disebut Topat War atau Perang Ketupat, yang juga dilaksanakan seminggu setelah Idulfitri. Tradisi ini adalah bentuk syukur kepada Tuhan atas hasil bumi.

Baca juga: Jadi Menu Wajib Lebaran, Ini Makna Ketupat

Masyarakat Sasak mengadakan perang ketupat, di mana mereka saling melempar ketupat ke arah satu sama lain di area tertentu yang biasanya dekat dengan tempat ibadah.

Tradisi Perang Topat di Lombok, bermula sekitar tahun 1500-an, adalah upaya menyeimbangkan penyebaran agama Hindu dan Islam.

Perang Topat, yang kini menjadi atraksi pariwisata tahunan, diadakan di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. Tradisi ini melibatkan masyarakat Muslim dan Hindu yang melempar ketupat seukuran buah rambutan satu sama lain sebagai simbol kesuburan dan keberkahan. Selain itu, kegiatan ini juga dimeriahkan dengan tarian Gendang Beleq dan Baris Lingsar.

tradisi lebaran ketupat
Persiapan Tradisi Perang Topat di NTB (Ist)

Ritual ini biasanya diadakan setiap tahun pada Purnama Sasih ke Pituq, berakhir selepas waktu Salat Asar, bertepatan dengan persembahyangan umat Hindu. Upacara ini dianggap membawa berkah berupa hujan dan kesuburan, menghormati Raden Sumilir, penyebar Islam di wilayah tersebut.

Kalimantan Selatan: Manyarung

Di Kalimantan Selatan, khususnya di daerah Banjar, ada tradisi Manyarung yang dilakukan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri. Manyarung adalah prosesi makan bersama yang dilakukan di rumah-rumah penduduk, dengan hidangan utama berupa ketupat dan lauk pauk khas daerah.

Masyarakat setempat berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya, saling bersilaturahmi dan menikmati hidangan yang disajikan.

Sulawesi Selatan: Mappalili

Di Sulawesi Selatan, ada tradisi yang disebut Mappalili, yang juga terjadi sekitar seminggu setelah Idul Fitri. Ini adalah upacara adat yang bertujuan untuk mengucap syukur atas hasil pertanian. Meskipun bukan secara spesifik berkaitan dengan ketupat, Mappalili merupakan refleksi dari kebersamaan dan kebahagiaan yang juga dirayakan pada Lebaran Ketupat di daerah lain.

Lebaran Ketupat ini tidak hanya menjadi simbol dari kesatuan dan kebersamaan keluarga tetapi juga pentingnya hubungan sosial dalam masyarakat. Tradisi ini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya budaya Indonesia, di mana setiap daerah memiliki cara unik dan spesial dalam merayakan hari-hari besar keagamaan. (DN)

Baca informasi menarik lainnya di Google Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.