Debat Ke- 1 Cawapres: Secara Show Gibran Unggul Namun Tidak Bermain Cantik

oleh -0 Dilihat
debat
Jurnalis Senior Yasmin Muntaz saat menjadi host Open Minded di Channel Youtube Diskursus Net.

Diskursus Network – Dalam debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Jumat 22 Desember 2023 lalu, Gibran Rakabuming Raka tampil di luar dugaan dan menjungkirbalikkan prediksi yang memperkirakan ia bakal grogi menghadapi Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD.  Harus diakui saat opening statement, Gibran tampil mengesankan. Secara show / presentasi (informasi, substansi, speed  dan akurasi bicara serta pemanfaatan dan disiplin waktu), Gibran unggul di sesi pertama. Ucapan Selamat Hari Ibu menjadi penutup yang pas.

Dalam visi misi, Gibran juga menyebut percepatan, selain keberlanjutan dan penyempurnaan sebagai narasi besarnya. Padahal ‘percepatan’  saat ini adalah ‘positioning’ paslon 03 (sesuai tagline : Sat Set).  Sebelumnya Mahfud MD memang sempat  menggaungkan perubahan dan perbaikan. Namun karena berubahnya strategi kampanye yang tidak  lagi menyerang Presiden Jokowi, dan PDIP bukanlah partai oposisi, paslon 03 kemudian menggaungkan percepatan (dan kembali ke soal keberlanjutan).

Percepatan yang disebutkan Gibran, nampaknya akan membuat paslon 02 dan 03 terus berebut kue yang sama.sambil saling klaim soal siapa yang paling bisa meneruskan Jokowi atau siapa yang ‘paling Jokowi’. Padahal, pencalonan Gibran sebagai Cawapres, bisa dibilang merupakan representasi endorsement Jokowi terhadap Prabowo Subianto.

Dari sisi ketepatan waktu, Muhaimin dan Mahfud sama-sama over durasi.  Sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah karena ucapannya sudah terukur.  Di awal penyampaian visi misi, Mahfud mengajak untuk bersujud pada ibu (dalam rangka hari ibu). Namun karena tempo bicaranya lambat, memakan durasi hampir 30 detik di awal. Akibatnya di akhir presentasi, sekitar 5 kata Mahfud melewati durasi.

Dalam menyampaikan opening statement, Mahfud mirip dengan Ganjar Pranowo dalam Debat Capres, yakni menyebut beberapa contoh kasus. Bedanya, Mahfud tidak bergaya story telling dan lebih  to the point. Sesuai kapasitasnya sebagai ahli hukum, Mahfud mengaitkan masalah ekonomi dengan permasalahan hukum, yakni korupsi yang disebutnya sebagai salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi (padahal bisa mencapai 7%).

Muhaimin membuang waktu sampai 1 menit lebih di awal, untuk prolog. Barulah ketika waktu tersisa sekitar 2 menit 43 detik, ia masuk ke inti. Muhaimin mengatakan : “Seharusnya Saya bicara pada debat pertama. Tapi jangan salah paham, bukan karena saya berambisi jadi Presiden, tapi karena saya punya pelajaran yang penting selama saya berjuang di politik. Saya menyaksikan dan menjadi bagian dari adanya Pemerintah yang memiliki kewenangan mutlak, terutama pimpinan tertinggi, untuk bisa menghadirkan keadilan dan  kemakmuran rakyat.

Inilah yg disebut sebagai slepet sebagai bagian dari kewenangan untuk menghadirkan kemakmuran dan keadilan.”  Waktu yang dihabiskan Muhaimin untuk pengantar tersebut menjadi sia-sia, karena jika dimaksudkan untuk mengkritik Presiden Jokowi, pesannya tidak sampai. Muhaimin menyebutkan : “slepet itu disrupsi” (inovasi atau cara baru untuk menggantikan cara lama)  dan “disrupsi adalah awal dari perubahan”.

Muhaimin menyebut kata slepet sebanyak 6 kali dalam 2 menit, termasuk ketika ia menyoroti kesenjangan antara  si kaya dan si miskin, harga-harga yang mahal serta masih tingginya angka pengangguran dan pekerja di sektor informal. Sayangnya Muhaimin tidak dapat menuntaskan visi misinya karena amat kehabisan waktu . Akibat over durasi dan beberapa kali slip of tongue, presentasi Muhaimin terasa kedodoran.

Ketiga kandidat tidak melupakan anak muda dalam visi misi. Gibran sebagai Cawapres termuda, beberapa kali menyebut anak muda dalam  rangka mempersiapkan ahli masa depan. Sedangkan Muhaimin menjanjikan Kredit Usaha Anak Muda. Mahfud MD menggunakan gimmick ala anak muda ketika mengajak untuk lawan korupsi. Ia meminjam istilah yang lagI viral di TikTok : “Mundur Wiirr..! Hendak korupsi, Saya tabrak !

Muhaimin Disentil, Gibran Minta Mahfud Googling Soal Investor IKN

debat
Muhaimin Iskandar saat mengikuti Debat Cawapres Pilpres 2024.

Sesi dua dan tiga adalah pertanyaan panelis. Sejak sesi kedua, Gibran tampil menyerang. Muhaimin ‘kena slepet’ ketika inkonsistensinya soal IKN (Ibu Kota Nusantara) dipertanyakan Gibran. Lalu saat ditanya soal investor IKN, juga muncul kesan Gibran meremehkan lawan bicara ketika ia meminta Mahfud MD yang seorang Profesor untuk googling.

Gibran kembali menyentil soal IKN ketika Muhaimin menjawab pertanyaan panelis soal Perkotaan. Cawapres 01 itu mengatakan akan membangun 40 kota baru yang selevel dengan Jakarta. Lagi-lagi Muhaimin diserang Gibran, yang menurut saya tidak patut karena Gibran menjulukinya ‘aneh’. Memberi julukan negatif adalah bullying. Tidak patut dilontarkan, apalagi disampaikan dalam Debat Pilpres.

Gibran memang banyak dibully dan dijuluki dengan beragam panggilan negatif di medsos. Tapi bukan berarti, ia bisa menyebut Cawapres lain ‘aneh’.  Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu memberi Gibran teguran atas ucapannya tersebut (bukan sekedar memberi teguran karena memprovokasi penonton).

Saat merespons tanggapan, Muhaimin sebenarnya bisa sambil mempertegas maksudnya soal membangun 40 kota setara Jakarta tersebut (bahwa bukan kota baru, melainkan meng-upgrade kota existing). Tapi hal itu tidak dilakukan.

State of the Global Islamic Economy (SGIE) dan Carbon Capture and Storage (CCS)

Sesi empat dan lima adalah sesi  yang paling ditunggu, yakni segmen tanya jawab. Gibran bertanya soal State of the Global Islamic Economy (SGIE)  ke Muhaimin dan soal regulasi Carbon Capture and Storage (CCS) ke Mahfud, yang belakangan diprotes karena dianggap ke luar dari tema. Pronounciation SGIE  disebut dalam singkatan bahasa Indonesia, padahal itu adalah singkatan dalam bahasa Inggris.

Untuk istilah yang sudah umum, kadang singkatan Inggris memang diucapkan secara bahasa Indonesia. Misal : COD (Cash on Delivery) , WHO (World Health Organization) dan lain-lain. Tapi ada juga dalam bahasa aslinya seperti UN (United Nation) yang disebut dalam bahasa Inggris. Karena kalau dalam bahasa Indonesia, UN adalah Ujian Nasional.

Kuncinya adalah umum dan tidak umum. Untuk istilah yang belum umum, tentunya perlu disebutkan dalam bahasa aslinya. Selain itu, caranya bertanya pun tidak tepat. Gibran bertanya : “Bagaimana langkah Gus Muhaimin untuk menaikkan peringkat Indonesia di SGIE ?” Penggunaan kata ‘di’ tidak pas karena mengacu pada pertanyaan soal tempat/event dan sejenisnya. Padahal SGIE adalah laporan. Jadi pertanyaan yang tepat adalah menggunakan kata: ‘dalam’ (Bagaimana menaikkan peringkat Indonesia dalam SGIE ?).

Muhaimin dengan jujur mengatakan tidak tahu. Sedangkan Mahfud layak dapat poin karena bisa lolos dari jebakan CCS dan bisa ‘memukul balik’ Gibran ketika mengatakan : “Anda pasti tidak tahu kalau saya tanya…”  Dinamika debat antara Mahfud dan Gibran kembali terjadi soal rasio pajak. Ketika menjawab, Gibran menganalogikan wajib pajak sebagai binatang.  Walaupun analogi tersebut umum dalam dunia perpajakan, tetap terasa kurang etis.

Reaksi Negatif Atas Pertanyaan Jebakan dan Closing Statement

debat
Mahfud MD saat mengikuti Debat Capres Pilpres 2024.

Walau dibungkus dengan pertanyaan lain, Gibran sesungguhnya sedang menguji pengetahuan soal singkatan atau istilah, ketimbang ingin menggali wawasan. Patut diduga, targetnya adalah agar kompetitor mengaku tidak tahu atau tidak bisa menjawab. Menurut komunikolog Indonesia yang disampaikan oleh pakar komunikasi politik Effendi Gazali: pertanyaan Gibran tentang SGIE, dianggap sebagai pertanyaan yang mengandung niat kurang baik.

Khusus di pertanyaan SGIE, Gibran memang  mendapatkan  banyak sentimen negatif. Drone Emprit menyebutkan, dari 35.500 mention soal SGIE di platform X, 71% merupakan sentimen negatif untuk Gibran, 24% positif, dan sisanya netral.  Membuat pertanyaan yang bermutu memang tidak mudah.

Pertanyaan jebakan, sesungguhnya adalah pertanyaan yang mudah dibuat dan kurang bermutu, tapi dikesankan sebagai pertanyaan yang sulit karena ada yang disembunyikan. Pertanyaan semacam itu bukanlah level pertanyaan untuk Debat Pilpres.  Tentunya kita berharap, pertanyaan jebakan (yang mengurangi mutu debat dan diduga bertujuan untuk mempermalukan lawan), tidak ada lagi dalam debat Capres/Cawapres mendatang.

Dalam closing statement, Gibran menyampaikannya tanpa membaca. Namun separuh waktunya dipergunakan untuk mengucapkan terima kasih dan menyalami Prabowo Subianto serta kedua kandidat lainnya. Ada 2 kesan yang Saya tangkap dari adegan tersebut, yakni : Pertama, Gibran ingin menunjukkan bahwa ia tidak kalah dengan Ketua Umum Partai yang Doktor dan Profesor  yang Menteri (yang disampaikannya  dengan memuji kompetitor).  Kedua, Gibran berusaha menghapus kesan  negatif yang timbul sepanjang debat.

Sikap offensive dan kurang santun serta membuat kesan lebih paham dari kandidat lain, terasa dominan ketika Gibran bicara, terutama pada saat ia menjadi pembicara terakhir, misalnya dengan mengatakan kandidat lain kurang paham, atau ”kan sudah sudah saya sampaikan” , “tentu saja saya tahu” dan sejenisnya. Dengan banyak menyerang ketika menanggapi maupun menjawab pertanyaan, juga timbul kesan semangat menjatuhkan lawan..

Sebaliknya, Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD sebagai politisi senior justru sepanjang debat bersikap santun dan low profile. Sehingga ketika closing statement, mereka memanfaatkan durasi secara maksimal (tanpa perlu mengalokasikan waktu untuk membangun pencitraan tertentu). Karena ini bukan kontes hafalan, jadi sah-sah saja kalau membaca. Toh memang diizinkan oleh KPU.

Kalau debat ditargetkan untuk meraup suara undecided voters yang hampir 29% itu, maka Gibran bisa banyak kehilangan suara. Menunjukkan kesetaraan dengan kandidat lain yang lebih berpengalaman, bukanlah dengan cara menjatuhkan dan terus menyerang. Kendati mendapat sentiment positif tertinggi, yakni 70%, sentimen negatif yang diterimanya juga tidak rendah, yakni 23% (dari analisis Drone Emprit di platform X).

Sedangkan Muhaimin mendapat sentimen negatif tertinggi : 41% dan sentimen positif terendah, yakni : 48%.. Mahfud MD mendapat sentiment positif 69%, dengan sentiment negatif terendah yakni 16%.

Gibran Mengadopsi Gaya Debat Jokowi dan Prabowo

debat
Gibran Rakabuming Raka saat mengikuti Debat Cawapres Pilpres 2024.

Orang banyak menyamakan gaya Gibran dengan Jokowi. Menurut Saya, persamaaan Gibran dengan Prabowo juga banyak. Persamaan dengan Jokowi adalah ketika melontarkan pertanyaan jebakan ala cerdas cermat (seperti TPID di Pilpres 2014 dan Unicorn di Pilpres 2019) serta dari intonasi dan gaya bicaranya.

Ketika mendengar intonasi suaranya, Saya bertanya-tanya, apakah memang seperti itu gaya Gibran ketika bicara di forum resmi, atau ia sedang menjadi ayahnya? Sedangkan persamaan dengan Prabowo adalah style menyerang dan sikap terhadap lawan debat. Kalau Prabowo lebih fokus menyerang Anies Baswedan dan bersikap underestimate dengan : Mas Anies..Mas Anies.., maka Gibran pun lebih banyak menyerang Muhaimin.

Walaupun, Mahfud juga kena sentilan Gibran ketika menjawab pertanyaan jebakan : “jangan mengambang ke mana-mana” (bandingkan dengan kesantunan Ganjar Pranowo ketika Prabowo dianggap belum menjawab pertanyaan soal pelanggaran HAM berat), mem-bully Muhaimin dengan menjulukinya ‘aneh’, dan mengungkit masa lalu ketika mempertanyakan inkonsistensi terhadap IKN ke Cawapres 01 tersebut, persis seperti Prabowo ketika mengungkit soal dukungannya ke Anies di Pilgub DKI .

Gibran juga bersikap defensif atas pertanyaan lawan dengan menuding tendensius ketika ditanya Muhaimin tips and trick supaya daerah lain bisa mendapat banyak proyek besar seperti di Solo. Jawaban Gibran soal readyness criteria cukup bagus. Namun menjadi minus karena sikapnya yang defensif atas pertanyaan yang disampaikan dengan nada yang biasa-biasa saja. Kalaupun Gibran ditanya to the point : apakah ia mendapatkan proyek besar karena anak Presiden, seharusnya dijawab saja dengan baik karena wajar saja jika ditanya. Tudingan tendensius juga dilontarkan Prabowo ke Ganjar ketika ditanya soal Pengadilan HAM.

Harus diakui dalam Debat Cawapres kali ini, Gibran tampil percaya diri. Gibran unggul dari sisi show, karena sebelumnya dipandang sebelah mata (underdog). Sehingga ada unsur kejutannya. Apakah skornya tinggi? Belum tentu. Sikapnya yang kurang santun itulah yang mengurangi skor. Juga karena pertanyaannya bersifat menjebak.

Gibran punya kesempatan bertanya satu kali ke masing-masing kandidat, tapi yang disiapkan hanya pertanyaan jebakan.  Dari sisi etika dan penerapan aturan main debat, Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar lebih unggul. Hanya saja, mereka berdua tidak dalam penampilan terbaiknya. Dari aspek show (pertunjukan),  jika debat ini diibaratkan pertandingan sepak bola, maka Gibran bermain tidak cantik dan kalah dalam ball possession. Tapi ia banyak mencetak gol, lewat serangan balik akibat kelengahan lawan.

Penulis: Yasmin Muntaz (Praktisi Media)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.