Psikolog Forensik, Reza Indragiri Soroti Kasus Penganiayaan oleh Anak Anggota DPR-RI

oleh -0 Dilihat
CCTV Penganiayaan Ronald
CCTV Penganiayaan Ronald

Jakarta – Psikolog Forensik, Reza Indragiri mencermati rangkaian kronologis perilaku kekerasan Gregorius Ronald Tannur (31), Reza menyoroti kasus dari pernyataan awal Kapolres Surabaya. Namun mempertanyakan penerapan kasus yang disematkan kepada tersangka, yaitu Pasal 351 ayat (3) KUHP dan atau Pasal 359 KUHP dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.

Kapolrestabes Surabaya Kombes Royce mengungkapkan penganiayaan tersangka kepada korban dimulai sejak keluar dari ruang karaoke. Korban lalu mulai mendapat penganiayaan sejak di lift.

“Pukul 00.10 WIB korban DSA dan saksi GR (Gregorius Ronald) disaksikan security Blackhole pulang lewat lift dan ada percekcokan dan penendangan ke arah kaki korban DSA. Korban DSA terjatuh sampai posisi duduk,” terang Pasma saat press release, Jumat (6/10/2023).

Tersangka, lanjut Pasma kemudian memukul lagi dengan botol tequila. Penganiaya belum selesai, sebab selanjutnya tersangka melindas korban dengan mobil dan terseret hingga 5 meter.

Dari urutan tersebut, terindikasi bahwa perilaku kekerasan Ronald bereskalasi. Dari menyasar organ tubuh bagian bawah (kaki) ke organ tubuh bagian atas (kepala). Dari sebatas tangan kosong ke penggunaan alat yang tidak perlu dimanipulasi (botol), dan berlanjut ke penggunaan alat yang perlu dimanipulasi (mobil).

“Eskalasi kekerasan sedemikian rupa, tambahan lagi karena tidak ada yang meleset dari organ vital korban serta terdapat jeda antara menabrak dan episode kekerasan sebelumnya, mengindikasikan GRT sebenarnya berada dalam tingkat kesadaran yang memadai baginya untuk meredam atau bahkan menghentikan perbuatannya.” analisa Reza.

Namun, alih-alih menyetop, dalam kondisi kesadaran tersebut Ronald justru menaikkan intensitas kekerasan terhadap sasaran.

“Itu menjadi penanda bahwa Ronald sengaja tidak memfungsikan kontrol dirinya untuk menahan atau bahkan menghentikan serangan. Tapi justru memfungsikan kontrol dirinya untuk meneruskan bahkan memperberat perilaku kekerasannya.” tambah Reza.

Dengan kondisi kesadaran dan aktivasi kontrol sedemikian rupa, Reza menduga bahwa Ronald pun mampu untuk sampai pada pemikiran bahwa ia akan melakukan perbuatan yang dapat menewaskan korban.

“Dengan kata lain, diperkirakan bahwa pada waktu itu di kepala Ronald sudah muncul pemikiran atau imajinasi tentang kematian korban.” Reza juga menyimpulkan bahwa Pada momen ketika pemikiran atau imajinasi kematian korban Dini muncul dalam benak Ronald, maka dapat ditafsirkan lengkap alur perbuatan Ronald dimana perilaku kekerasan bereskalasi dan disertai dengan imajinasi tentang kematian sasaran.

Reza menjabarkan, perlu diselidiki ada tidaknya kontrol diri sebagai perwujudan kesadaran Ronald. Untuk memastikannya, perlu ditemukan:

1) Pola eskalasi perilaku kekerasan GRT terhadap sasaran (SA).
2) Di samping rentang waktu kekerasan secara keseluruhan, cek pula interval antara episode kekerasan yang satu dan lainnya.
3) Periksa ponsel guna memantapkan ada tidaknya pesan atau komunikasi yang menggenapi eskalasi kekerasan GRT terhadap SA.
4) Maaf, periksa apakah SA dalam keadaan hamil atau kondisi-kondisi fisik lainnya yang bisa menjadi pretext bagi GRT untuk melenyapkan SA.
5) Baik jika dapat ditakar kadar alkohol dalam tubuh GRT. Apakah kadar alkohol tersebut berada pada level yang masih memungkinkan ia melakukan kontrol terhadap pikiran dan perilakunya sendiri.

Atas dasar itu, Reza menyimpulkan “Polrestabes Surabaya patut mendalami kemungkinan penerapan pasal 338 KUHP, dengan ancaman mati dan sedikitnya 20 tahun penjara.” (DN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.