Omon-Omon Netralitas Presiden

oleh -0 Dilihat
netralitas
Moh. Samsul Arifin

Diskursus Network – Apa urgensi dan manfaat seorang Presiden Republik Indonesia mengomentari debat calon presiden (Capres) yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU)? Mengapa presiden yang sedang berkuasa wajib berdiri di atas semua kepentingan, kelompok atau golongan dan partai politik saat negeri kita punya hajatan besar pemilihan umum (Pemilu)?

Ini pertanyaan etis yang tidak berlaku hari ini atau esok saja, tapi sepanjang masa kalau negara kita merasa sebagai negara demokrasi. Tapi, rasanya sekarang yang etis tidak terlalu menjadi panduan, bukan sebuah arah, tujuan dan kiblat. Dalam politik menuju pesta sesungguhnya, pemungutan suara pada 14 Februari 2024 mendatang, yang etis disingkirkan, diringkus, ditelantarkan.

Yang tampil di depan panggung adalah sosok yang menerabas, yang ingin terlibat, ingin turut serta, alias cawe-cawe. Selepas debat calon presiden—ronde atau seri ketiga dari jadwal KPU—Presiden Joko Widodo mengomentari debat yang berlangsung panas itu. Presiden kecewa lantaran debat telah digunakan untuk menyerang personal (pribadi) kandidat lain. Presiden pun menyatakan perlunya perubahan format debat. “Debatnya perlu diformat lebih baik lagi,” ujar Presiden Jokowi.

Itu menegaskan format debat yang dibuat KPU telah baik atau kurang baik sehingga perlu diformat lebih baik lagi. Pernyataan presiden itu secara substantif dapat diperdebatkan. Mungkin sekali pernyataan presiden itu benar. Tapi, karena yang bicara adalah seorang presiden, respons terhadap substansi yang dibicarakannya tidak tunggal. Beda sekali jika yang bicara adalah akademisi, pakar komunikasi atau peneliti pemilihan umum yang telah mengkaji debat presiden di negara-negara yang sistem demokrasinya telah mapan.

Netralitas Presiden Jokowi Dipertanyakan

Visi
Debat Capres Pilpres 2024

Pertama, dalam debat presiden itu ada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Gibran adalah putra sulung presiden yang maju di perhelatan Pilpres lewat proses yang memancing kontroversi di Mahkamah Konstitusi. Di sini, pernyataan Presiden Jokowi bisa dibaca mengandung bias.

Dalam debat ronde ketiga itu, berdasarkan penelusuran Drone Emprit atas perbincangan publik di media sosial X (twitter) sentimen negatif terhadap Prabowo paling besar, menembus 54 persen. Sebaliknya Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo menangguk sentimen positif sebesar 76 persen dan 72 persen. Adapun sentimen positif Prabowo cuma di angka 40 persen. Kandidat presiden nomor urut 1 terlihat menggunakan forum debat itu untuk mempertanyakan sejumlah kebijakan kandidat presiden nomor urut 2—yang kebetulan menjabat Menteri Pertahanan—dengan memaparkan data.

Kedua, debat calon presiden dan debat calon wakil presiden itu adalah domain KPU—sebuah lembaga penyelenggara yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri menurut UU 7/2007 tentang Pemilu. Dalam pencarian format debat yang lebih mencerminkan “debat” serta kultur dan kepribadian bangsa Indonesia itu, seyogyanya KPU diberikan kebebasan untuk sampai kepada debat yang ideal ala Indonesia itu. Dan yang terjadi pada debat ketiga itu adalah cara KPU mencari debat ideal ala Indonesia dengan mengevaluasi dan mengubah sebagian aturannya setelah berlangsung debat ronde satu dan dua.

Jika pada debat Cawapres masih ada kandidat yang menggunakan singkatan atau akronim, pada debat ronde ketiga, itu tidak ada lagi, alias dilarang. Kita menyaksikan beberapa kali moderator mengingatkan peserta debat agar tidak menggunakan singkatan atau akronim—satu hal yang dalam debat cawapres digunakan Gibran saat bertanya soal SGIE (State of the Global Islamic Economy) kepada Muhaimin Iskandar.

Dalam debat capres, 7 Januari lalu, apa yang disebut debat itu hadir, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan debat sebagai pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Kata kuncinya adalah pertukaran pendapat serta mempertahankan pendapat dengan alasan atau argumentasi.

debat 2 1
Debat Capres Pertama Pilpres 2024

Menengok debat ronde kedua, rasanya kandidat capres nomor urut 1 dan 3 telah menaikkan level debat ke leval debat sesungguhnya. Keduanya bertukar pendapat dan mempertahankan argumentasinya demi meraih simpati calon pemilih yang masih bingung (undecided voters) serta swing voters–rakyat yang belum kokoh menetapkan pilihan dan berpotensi memindahkan dukungan (suara).

Di situ kandidat presiden nomor urut 1 tampak ofensif menyerang kandidat presiden nomor urut 2. Ini juga diikuti kandidat nomor urut 3, Ganjar Pranowo di sesi-sesi terakhir. Tapi, bahkan dengan durasi yang terbatas (karena seluruh peserta juga diperlakukan sama), kandidat presiden nomor urut 2 seharusnya menjawab hal-hal yang ditanyakan kepadanya. Alih-alih menjawab, dia beralasan tidak cukup waktu, bisa dijelaskan di forum lain, rahasia dan seterusnya. Mengapa satu poin penting yang dapat diutarakan dengan singkat tidak dia ungkap saja di dalam debat?

Berkaitan dengan apa yang terjadi pada debat ronde ketiga, mengapa Presiden tampak aktif? Sedangkan KPU tidak dalam posisi meminta saran atau input. Ini lagi-lagi berkelebat di pikiran sebagian kita semua.

Indonesia adalah negara yang baru mengadaptasi sistem demokrasi. Bahkan sejak merdeka tahun 1945, negeri kita dibelenggu otoritarianisme. Selepas kolonialisme, dalam  sebagian sejarahnya, Indonesia menganut demokrasi, misalnya tahun 1955 saat demokrasi parlementer menjadi acuan. Tapi sebagian terpanjang Indonesia Merdeka berada dalam bayang-bayang antara demokrasi dan otoritarianisme. Itu terjadi di masa demokrasi terpimpin di bawah kendali Sukarno (Orde Lama), juga di masa Soeharto ketika rezim otoriter Orde Baru mengklaim dirinya melaksanakan demokrasi Pancasila.

Pada 2024 ini ketika negara kita menggelar pemilihan umum keenam dalam 25 tahun era reformasi. Seharusnya—dan sangat wajar—jika negeri kita sanggup menggelar demokrasi yang lebih substantif, bukan lagi prosedural. Dan pemilihan umum—Pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD serta Pemilihan Presiden/Wakil Pesiden—yang digelar 14 Februari mendatang adalah pertaruhan bangsa ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia telah sampai kepada demokrasi yang substantif atau tidak. Bukan hanya menggelar Pemilu, tapi sanggup mewujudkan pesta demokrasi yang jujur dan adil, serta langsung, umum, bebas dan rahasia.

Hal itu menuntut keteladanan dari pemimpin nasional. Sanggupkah Presiden berdiri di atas seluruh kelompok kepentingan, golongan atau kelompok, partai politik serta kandidat Capres dan Cawapres?

Netralitas Menyangkut Sikap Etis

debat
Gibran Rakabuming Raka saat mengikuti Debat Cawapres Pilpres 2024.

Negeri kita baru saja dikoyak “skandal etik” yang melibatkan bekas orang nomor satu di benteng konstitusi. Syarat batas usia capres-cawapres diubah sehingga menjadi pintu masuk Gibran Rakabuming Raka masuk gelanggang Pilpres dengan menjadi pendamping Prabowo. Skandal etik itu tak lain adalah dugaan konflik kepentingan oleh Anwar Usman selaku ketua MK ketika memutus uji materi soal batas usia minimal Capres-cawapres, Oktober 2023. Skandal ini telah berujung pemecatan terhadap Anwar Usman, yang tak lain adalah adik ipar Presiden serta paman dari Gibran.

Untuk memperbaiki citra MK yang remuk itu telah dibentuk Majelis Kehormatan MK secara permanen. Ini kabar baik sebab sudah seyogyanya hakim konstitusi terus diawasi, karena Keputusan-keputusannya berkaitan dengan sendi-sendi atau pilar pokok kehidupan bernegara, yaitu konstitusi. Majelis Kehormatan MK yang bersifat permanen diharapkan membantu menjaga muruah MK. Dalam waktu dekat MK akan punya tugas penting, yaitu menyidangkan perkara sengketa Pemilu dan Pilkada.

Itulah upaya perbaikan terhadap wajah MK. Di atas itu semua, publik mendamba netralitas dari presiden yang sedang menjabat. Netralitas bukan tentang hal-hal simbolis semacam mengundang makan siang tiga kandidat ke Istana Kepresiden. Bukan pula tentang kata-kata. Beberapa bulan silam, Presiden Jokowi pernah bilang, “demi kepentingan bangsa dan negara, saya akan cawe-cawe.” Itu konteksnya pemilihan umum. Sebagian pihak membaca Presiden telah ikut serta mendukung kandidat capres tertentu.

Saya teringat buku kecil Susilo Bambang Yudhoyono yang diperuntukkan kepada kader Partai Demokrat. Judulnya “Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi”. Di situ, SBY menjelaskan, ”tentang kata-kata bahwa cawe-cawe yang akan dilakukan itu demi kepentingan bangsa dan negara, mungkin ini yang Pak Jokowi perlu berhati-hati.”

Politik “Sontoloyo”
Foto: Instagram @jokowi

SBY melanjutkan, “Dalam mengartikan kepentingan bangsa dan negara, khususnya jika dikaitkan dengan Pilpres 2024 mendatang harus tepat dan tidak bias. Kepentingan nasional (national interest), tidaklah sama dengan kepentingan politik seorang Presiden atau kepentingan politik sebuah parpol atau pihak mana pun.”

Satu lagi yang layak dikutip dari SBY, yaitu tentang pentingnya netralitas presiden yang sedang berkuasa. “Untuk diingat memang pada Pilpres 2014 dulu saya memilih bersikap netral, dan mempersilahkan baik pasangan Pak Jokowi bersama Pak Jusuf Kalla maupun pasangan Pak Prabowo bersama Pak Hatta Rajasa untuk berkompetisi secara sehat dan demokratis.”

Jika berkaca pada tahun-tahun terakhir periode kedua Pemerintahan SBY (2013-2014), saya tidak menyaksikan seorang presiden yang berupaya (di panggung belakang atau panggung depan politik) cawe-cawe ikut menentukan siapa calon presiden yang pantas berlaga di Pilpres 2014. Yang saya ingat, Partai Demokrat menggelar konvensi capres untuk memilih dan menetapkan capres dari partai pemenang Pemilu 2009 itu.

Dahlan Iskan, saat itu Menteri BUMN, menang konvensi capres Demokrat. Tapi, lantaran popularitas dan potensi elektabilitas Dahlan jauh di bawah Joko Widodo dan Prabowo Subianto, pendiri Jawa Pos itu batal maju ke gelanggang Pilpres 2014. Demokrat dan SBY tahu diri dan tidak memaksakan diri.

Netralitas itu menyangkut sikap etis. Dan merujuk pada salah seorang tokoh etika, K. Bertens, etika adalah nilai moral dan norma yang menjadi pedoman bagi seorang individu atau kelompok dalam mengatur tindakan atau perilaku. Kita semua terikat padanya.

Penulis: Moh. Samsul Arifin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.