6 Gambaran Nasib Warga di Perbatasan: Bagaikan Anak Tiri

oleh -0 Dilihat
6 Gambaran Nasib Warga di Perbatasan: Bagaikan Anak Tiri
Nasib warga perbatasan Indonesia dengan negara tetangga ternyata tidak seberuntung WNI yang tinggal di wilayah Indonesia lainnya.

Jakarta- Nasib warga perbatasan Indonesia dengan negara tetangga ternyata tidak seberuntung WNI yang tinggal di wilayah Indonesia lainnya. Daerah perbatasan ini tersebar di beberapa pulau. Selain itu, wilayah tersebut berbatasan dengan berbagai negara, contohnya Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste.

Wilayah perbatasan adalah pintu gerbang Indonesia dan memiliki lokasi strategis. Sehingga, daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga seharusnya terlihat baik dan maju. Faktanya, pembangunan daerah di wilayah ini malah tertinggal dan nasib warganya bisa dibilang bagaikan anak tiri.

Warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk merasakan manfaat pembangunan dan mendapat perhatian dari pemerintah RI. Namun faktanya, warga perbatasan kurang diperhatikan oleh pemerintah sejak lama.

Akibatnya, pada tahun 2018, banyak WNI di daerah perbatasan Indonesia Malaysia yang pindah kewarganegaraan menjadi WN Malaysia. Seburuk apakah nasib warga di perbatasan? Berikut ini enam gambaran kehidupan mereka.

1. Hidup di Tengah Minimnya Infrastruktur

Hidup di Tengah Minimnya Infrastruktur
Foto: Ilustrasi Canva

Dahulu, daerah perbatasan sangat minim akan pembangunan infrastruktur. Namun, beberapa tahun terakhir ini, pembangunan infrastruktur baru sudah mulai terlihat meski belum sempurna. Beberapa infrastruktur yang masih minim di daerah perbatasan adalah sebagai berikut.

• Jalan dan Jembatan

Salah satu program pemerintah dalam meningkatkan pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan adalah pembuatan jalan perbatasan. Namun sayangnya, jalan ini belum dibangun di semua daerah perbatasan.

Beberapa desa yang berbatasan dengan Papua Nugini, misalnya, sangat terisolasi karena tidak adanya jalan perbatasan dan jembatan. Mereka yang sudah memiliki jalan perbatasan pun banyak yang kondisi jalannya masih setengah jadi.

Beberapa jalan tersebut masih perlu dibangun karena belum memenuhi target panjang ruas jalan. Selain itu, belum semua ruas jalan tersebut diaspal.

Jalan-jalan kampung di wilayah perbatasan umumnya juga berbatu atau berlumpur saat hujan. Dengan demikian, kenyamanan transportasi di wilayah seperti ini masih minim.

• Infrastruktur Listrik

Selain minimnya infrastruktur jalan, daerah perbatasan juga belum memiliki akses listrik 100%. Beberapa desa memiliki akses listrik yang sangat terbatas.

Keterbatasan ini bisa berupa keterbatasan jangkauan. Dengan demikian, belum semua rumah di desa-desa terluar dialiri listrik. Selain itu, keterbatasan juga bisa berupa sambungan listrik yang sering padam karena masalah pasokan listrik atau faktor lainnya.

• Infrastruktur Komunikasi

Salah satu gambaran nasib warga di daerah terpencil dan terluar adalah sulit memperoleh akses layanan komunikasi. Kesulitan ini disebabkan oleh minimnya infrastruktur komunikasi.

Di wilayah perbatasan yang terletak di Provinsi Kaltara, misalnya, jumlah tower seluler yang berdiri adalah 6 tower. Namun, hanya 2 tower yang beroperasi. Hal ini karena 4 tower lainnya tidak dialiri listrik.

Warga di beberapa wilayah ini sudah memperoleh akses layanan komunikasi. Namun, pilihan layanan tersebut sangat terbatas. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh layanan ini juga cukup besar.

2. Terpaksa Berbelanja di Negeri Orang

Terpaksa Berbelanja
Foto: Ilustrasi Canva

Terpaksa berbelanja di negeri orang adalah salah satu nasib warga di perbatasan Indonesia dan Malaysia yang ada di Kaltara. Mereka yang tinggal di wilayah tersebut terpaksa berbelanja di pasar Malaysia karena lebih dekat.

Mereka hanya perlu melakukan perjalanan selama setengah jam untuk ke pasar tersebut. Hal ini berbeda jauh jika mereka berbelanja di pasar Indonesia terdekat. Untuk ke pasar ini, mereka harus naik speed boat selama berjam-jam.

Selain memakan banyak waktu, perjalanan ini juga butuh biaya besar. Oleh karenanya, warga di Kaltara memilih berbelanja di Malaysia. Berbelanja di negeri tetangga mengharuskan mereka untuk memiliki paspor aktif.

Hal ini tentu sedikit merepotkan. Alhasil, warga-warga yang paspornya sudah expired hanya bisa titip belanjaan kepada tetangga dan saudara. Sedangkan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan kecil, mereka berbelanja di warung terdekat.

Selain harus memiliki paspor, berbelanja di Malaysia juga mengharuskan mereka untuk menggunakan mata uang Malaysia. Sehingga, sudah biasa bagi mereka untuk menggunakan dua mata uang, yaitu Rupiah dan Ringgit.

3. Fasilitas Pendidikan Tidak Memadai

Fasilitas Pendidikan
Foto: Ilustrasi Canva

Nasib warga di perbatasan juga kurang beruntung dalam hal pendidikan. Di wilayah-wilayah ini sebenarnya sudah ada sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Namun, sebagian sekolah tersebut kekurangan ruangan dan guru.

Sebagai contoh, SMKN 1 Entikong yang berbatasan dengan Malaysia memiliki 27 rombongan belajar. Namun, ruang kelas yang tersedia hanya 16 ruangan. Selain itu, sekolah ini juga kekurangan guru. Akibatnya, guru-guru harus mengajar lebih dari 30 jam seminggu.

Selain fasilitas sekolah yang kurang memadai, letak sekolah tersebut juga cukup jauh dari rumah siswa. Akibatnya, banyak anak-anak SMA/SMK yang terpaksa menginap di asrama. Biaya tinggal di asrama ini sekitar 300 ribu per bulan.

Sayangnya, jumlah asrama ini juga tidak memadai. Sehingga, sebagian siswa terpaksa numpang di rumah warga atau kos di dekat sekolah. Mereka yang kos di rumah warga biasanya harus membayar biaya sekitar 500 ribu per bulan. Hal ini tentu memberatkan beberapa wali murid.

4. Kurangnya Akses ke Fasilitas Kesehatan

Kurangnya Akses
Foto: Ilustrasi Canva

Warga perbatasan juga tidak memperoleh akses ke fasilitas kesehatan sebaik WNI yang berada di daerah lain. Daerah terluar dan terpencil umumnya memiliki puskesmas atau klinik kesehatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dasar mereka.

Beberapa daerah juga memiliki rumah sakit. Namun, rumah sakit ini tentu tidak sama seperti yang ada di desa atau kota yang dekat dengan pusat pemerintahan. Sebuah wilayah perbatasan Indonesia Malaysia yang ada di Kalbar, contohnya, memiliki sebuah rumah sakit.

Namun, sarana dan prasarana rumah sakit tersebut tidak lengkap. Rumah sakit tersebut tidak memiliki dokter gigi, staf rekam medis, analis laboratorium, dan staf medis khusus lainnya. Sehingga, warga di daerah tersebut tidak bisa memperoleh pelayanan kesehatan gigi.

Selain minim fasilitas kesehatan, jarak rumah warga dengan fasilitas kesehatan tersebut juga cukup jauh. Sehingga, tak heran jika beberapa warga memilih pergi ke fasilitas kesehatan Malaysia yang lebih dekat dan lengkap untuk mengatasi masalah kesehatan mereka.

5. Sulit Memperoleh Akses Layanan Kependudukan

Kependudukan
Foto: Ilustrasi Canva

Layanan kependudukan, seperti pembuatan KTP, akta kelahiran, dan KK, juga tidak mudah diperoleh oleh warga perbatasan. Kesulitan ini muncul karena jarak daerah dengan kecamatan cukup jauh.

Jarak tersebut membuat ongkos transportasi terasa mahal bagi warga terluar. Akibatnya, banyak warga di wilayah ini tidak bisa mengurus dokumen kependudukan mereka.

6. Permasalahan Keamanan

Permasalahan Keamanan
Foto: Ilustrasi Canva

Permasalahan keamanan terkadang juga mewarnai kehidupan warga perbatasan. Permasalahan ini terutama dapat dilihat pada wilayah yang berbatasan dengan Papua Nugini.

Di wilayah tersebut, penyelundupan senjata serta narkoba dan pencurian sumber daya alam rawan terjadi. Selain itu, gesekan antara warga lokal dan warga negara tetangga juga mungkin terjadi. Pemicu gesekan ini bermacam-macam. Salah satunya adalah belum disepakatinya batas teritorial antara Indonesia dan negara tetangga.

Untuk mengatasi masalah keamanan ini, TNI biasanya mengadakan patroli secara rutin. Namun, tak jarang pula TNI mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga keamanan. Langkah ini mereka tempuh dengan cara berkomunikasi dengan warga dan pemberian himbauan.

Nasib warga di perbatasan Indonesia dan negara tetangga tidak seberuntung WNI yang tinggal di dekat pusat pemerintahan. Warga perbatasan umumnya hidup di tengah minimnya fasilitas umum. Tak jarang mereka terpaksa pergi ke negara tetangga untuk memperoleh akses kesehatan dan berbelanja.

Selain itu, sebagian warga perbatasan juga terisolasi dari rekan senegaranya sendiri karena minimnya sarana dan prasarana transportasi. Kondisi-kondisi ini dapat menurunkan rasa nasionalisme warga perbatasan. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk melakukan pembangunan di perbatasan. (Red DN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.