Kyai Ma’ruf, Sekarang Sudah 1 Desember

oleh -0 Dilihat
Kiyai
Wapres RI Ma'ruf Amin saat berkantor di Papua (Istimewa)

Diskursus Network – Gonjang-ganjing pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membuat nama Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin kian raib dari perbincangan publik. Padahal, tidak bisa disangkal, Kyai Ma’ruf adalah salah satu ulama masyhur. Semasa memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI), banyak catatan positifnya. MUI mampu eksis sebagai satu dari sekian banyak ormas Islam yang teguh menjaga umat dan memberikan sumbangan besar bagi seluruh masyarakat.

Tanggal 1 Desember 1956 Mohammad Hatta mundur dari kursi wakil presiden. Alasannya, banyak diulas kaum pintar.

Salah satunya “sangat Hatta”, sangat kuat mencerminkan betapa demokrasi sungguh-sungguh merupakan hemoglobin dalam sel darah merah Hatta. Itu terbaca pada kalimatnya, “Dalam jangka waktu lama, Indonesia hidup dalam bayangan feodalisme. Tetapi neofeodalisme Sukarno lebih jahat dan lebih ganas.”

Mudah dipahami. Sukarno memang berkuasa. Tapi yang membuat Hatta tak lagi sanggup menahan muak adalah manakala kekuasaan sudah mencapai derajat yang menghancur-leburkan prinsip-prinsip dasar bernegara.

Kyai
Wapres RI, Ma’ruf Amin tiba di tanah air usai misi perdamaian dunia 3 negara

Kyai Ma’ruf pun boleh jadi membaca bahwa situasi sekarang mirip dengan keadaan tahun 1956 itu. Dan semakin lama Kyai Ma’ruf mengirup polusi dalam kehidupan kenegaraan itu, semakin mungkin publik memersepsikan wakil presiden sebagai jabatan serbatuna.

Di tengah-tengah situasi sulit untuk menciptakan legacy, wakil presiden yang gagal membuktikan efektivitasnya, apalagi karena kakinya dicengkeram kuat oleh presiden, perlu berpikir serius tentang satu hal. Bukan tentang bagaimana menjadi wakil presiden yang harum namanya. Bukan tentang apa ikhtiar untuk meningkatkan performa di satu tahun tersisa. Melainkan bagaimana melepas kursi wakil presiden dengan nilai keteladanan bagi semua.

Kyai Ma’ruf, dengan segala senioritas yang ia punya,  sepatutnya percaya diri memberikan peringatan terakhir dan keras kepada Presiden Jokowi yang tengah asyik dengan manuver despotismenya.

Dan saya, selaku warganegara yang memosisikan Ma’ruf sebagai sosok guru, punya kepentingan untuk dengan rasa hormat mengingatkan guru saya itu agar selekasnya menjaga jarak sejauh-jauhnya dari kubangan totalitarianisme, dengan berpesan satu hal: tirulah Hatta.

Penulis: Reza Indragiri

Anggota Tim Penulisan Buku Terbitan BPIP

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.