Obsesi Satu Putaran

oleh -0 Dilihat
putaran
Moh. Samsul Arifin

Diskursus Network – Belakangan berembus usulan agar pemilihan presiden dan wakil presiden sebaiknya berlangsung dalam satu putaran saja. Dengan cara itu, menurut seorang politikus dari Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, masyarakat memberi “amal” hingga Rp27 triliun kepada negara. Pilpres satu putaran berarti menghemat uang negara yang kalau dirinci Rp17 triliun untuk KPU menggelar Pilpres putaran kedua. Adapun sisanya, Rp 10 triliun, untuk biaya keamanan dan lain-lain.

Selain hemat, masih kata sang politikus, Pilpres satu putaran juga lebih simpel, tidak bertele-tele dalam menentukan siapa presiden dan wapres pilihan rakyat. Ini sebuah argumentasi yang absah, rasional, tapi sebetulnya hanya perulangan dari argumentasi yang telah lama beredar: Sebaiknya Pilpres itu cukup satu putaran dan lebih baik jika diikuti dua pasangan calon. Logika dan narasi semacam ini menonjol sekali dikemukakan tim sukses kandidat nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang menurut sejumlah survei berada di peringkat pertama, kendati belum melampaui 50 persen.

Dari perspektif tim sukses tiga kandidat (capres & cawapres), menang satu putaran adalah misi terbesar mereka. Tapi, apakah rakyat gampang diajak, diimbau, diyakinkan dan dimobilisasi agar Pilpres berlangsung cukup satu putaran? Dan apakah konstitusi mengatur syarat yang gampang?

Untuk menang satu putaran ternyata bukan hal yang gampang. Ada dua syarat yang harus dipenuhi kandidat atau pasangan calon. Itu tertuang dalam Pasal 6A UUD 1945 hasil amendemen. Pertama, yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden harus mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen. Inilah syarat yang disebut “popular vote”, di mana kandidat yang meraup suara 50% + 1 berpeluang menang. Ingat berpeluang menang, bukan langsung menang.

Kedua, suara kandidat harus tersebar di sedikitnya 20% (dua puluh persen) di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Syarat persebaran wilayah ini harus dipenuhi pasangan calon jika ingin memenangkan Pilpres. Dalam keadaan dua syarat tadi tidak terpenuhi, maka sang pemenang akan ditentukan dalam pemilihan ulang atau putaran kedua.

Ini pernah terjadi pada Pilpres 2004, saat lima pasangan calon bertarung untuk memperebutkan kursi presiden dan wapres. Saat itu, alih-alih syarat persebaran wilayah, syarat “popular vote” saja tidak ada yang memenuhi. Alhasil dua pasangan calon yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, bertarung di putaran kedua. Sejarah lalu mencatat, SBY-JK menang Pilpres 2004 dengan mengalahkan petahana.

Di Pilpres 2009, ada tiga pasangan calon yang berebut kursi presiden dan wakil presiden. Kala itu SBY yang berduet dengan Boediono tak perlu dua putaran untuk kembali menakhodai Indonesia. Duet Wong Jawa Timur ini menang telak, meraup 60,80 persen suara. Prabowo yang ketika itu menjadi cawapres dari Megawati menghimpun 26,79 persen, sedangkan JK-Wiranto secara mengejutkan hanya meraih 12,41 persen. Pada Pilpres 2009, SBY yang ditopang Partai Demokrat, memenuhi dua syarat sekaligus: 60,80 persen suara (popular vote) serta memenuhi syarat sebaran wilayah (menangguk lebih dari 20% suara di 33 provinsi).

putaran
Ilustrasi

Tapi dua syarat, yakni popular vote dan persebaran wilayah, itu tidak berlaku pada Pilpres 2014 dan 2019. Pada 3 Juli 2014, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi tentang pasal syarat menang Pilpres yang diajukan oleh Forum Pengacara Konstitusi. MK memutuskan sepanjang hanya diikuti oleh dua pasangan calon, maka pemenang Pilpres cukup memenuhi syarat popular vote. Jadi tidak perlu syarat persebaran wilayah. Itulah mengapa pada 2014 dan 2019, Pilpres cuma berlangsung satu putaran.

Inilah yang dirisaukan Pakar hukum tata negara UI, Jimly Asshiddiqie. Menurutnya dua syarat, popular vote dan sebaran suara di setengah jumlah provinsi adalah amanat konstitusi. Saat amendemen dilakukan, syarat sebaran wilayah dibubuhkan untuk menegaskan Indonesia itu bukan hanya pulau Jawa. Dan kalau kita bedah, menurut saya, popular vote itu punya kontribusi atas tren politik Indonesia yang Jawa sentris. Pertama, jauh sebelum Indonesia Merdeka, Jawa adalah episentrum. Begitu juga setelah proklamasi.

Kedua, secara faktual, pemilih di pulau Jawa itu terbesar. Pada Pemilu 2024, jumlah pemilih di Jawa menembus 115,38 juta. Itu berarti lebih dari 50 persen total pemilih yang sebanyak 204,8 juta. Untuk memenuhi syarat popular vote, kandidat cukup menang di 6 provinsi di pulau Jawa. Itulah mengapa diskursus yang mencuat adalah bagaimana menguasai Jawa Barat, Jawa Timur, atau Jawa Tengah. Sementara itu, tidak mengemuka bagaimana strategi kandidat presiden atau partai politik untuk menang di Sumatra Selatan, Maluku, atau Papua misalnya. Karena itu tidak salah jika mengatakan syarat popular vote semata itu bias Jawa.

Besarnya populasi atau penduduk di Jawa itu berkorelasi dengan stereotipe yang langgeng: Presiden Indonesia itu harus orang Jawa. Bahkan Jusuf Kalla yang pernah berlaga di Pilpres 2004, 2009 dan 2014 meyakini itu. Sejak 1945 sampai sekarang ternyata presiden Indonesia memang selalu orang Jawa. Dan karena itulah syarat tentang keharusan adanya sebaran suara di setengah jumlah provinsi itu dicantumkan dalam Pasal 6 A UUD 1945 hasil amendemen. Indonesia itu bukan hanya Jawa, tapi Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Inilah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibayangkan para pendiri bangsa.

Cuma ada kekosongan dalam Pasal 6A itu. Bagaimana jika yang bertarung di Pilpres hanya dua pasangan calon?

Pasal 6A ayat 4 menyebut, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung (putaran kedua), dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak  dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”

Keputusan MK di masa Hamdan Zoelva yang menyatakan syarat sebaran suara di setengah provinsi tidak berlaku saat Pilpres diikuti dua pasangan calon, adalah terobosan untuk mengisi kekosongan pasal 6A ayat 4 itu. Tapi lubang besarnya adalah menafikan urgensi sebaran suara di setengah jumlah provinsi, sesuatu yang menautkan negeri ini dengan ide Indonesia yang berjejer dari Sabang hingga Merauke.

Dalam konteks Pilpres 2024 yang diikuti tiga pasangan calon, untuk menang satu putaran bukan perkara gampang. Dua syarat di atas harus dipenuhi.

Itu dari sisi konstitusi. Bagaimana dari sisi rakyat?

putaran
Ilustrasi

Ternyata bukan hal yang gampang juga. Mari mencermati hasil survei CSIS, 13-18 Desember 2023. Survei menggunakan 1.300 responden yang tersebar di 34 provinsi. Survei ini dilakukan secara tatap muka, margin of error 2,7 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Hasilnya, elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran nangkring di urutan pertama dengan 43,7 persen. Sementara Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menangguk 26,1 persen dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD meraih 19,4 persen. Adapun 10,9 persen responden belum menentukan pilihan, tidak tahu atau tidak menjawab. Itu menegaskan bahwa belum ada kandidat yang memenuhi syarat popular vote (50% + 1).

Bagaimana dengan syarat sebaran wilayah? Dari sembilan zona yang disigi CSIS, Prabowo-Gibran menguasai tujuh regional atau zona. Adapun Ganjar-Mahfud hanya unggul di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sedangkan Anies-Muhaimin kalah di sembilan zona, tapi bersaing dengan ketat dengan Prabowo-Gibran di wilayah Sumatra dan Banten (Kompas, 27 Desember 2023). Dari pembagian zona ini hasil survei CSIS tidak memberi informasi soal persentase suara lebih dari 20 persen yang diminta Pasal 6A UUD 1945 hasil amendemen.

Informasi dari hasil survei CSIS, belakangan juga ditunjukkan oleh survei Poltracking Indonesia, dapat disimpulkan: Belum ada pemenang Pilpres di putaran pertama. Karena itu harus dilakukan Pilpres putaran kedua. Dari hasil survei CSIS tadi, Prabowo-Gibran akan ditantang oleh Anies-Muhaimin dalam pertarungan berebut popular vote, alias suara rakyat 50% + 1. Hasil survei tadi menyatakan tren suara rakyat di saat survei digelar, 13-18 Desember 2023. Selepas itu segala sesuatu bisa berubah.

Masih ada 10,9 persen calon pemilih yang belum menetapkan pilihan. Inilah “undecided voters” yang diperebutkan tiga kandidat, termasuk dengan memanfaatkan debat capres/cawapres. Satu lagi, masih ada 24,8 persen responden yang menyatakan mungkin saja mengubah pilihannya karena menanti debat capres/cawapres. Saat survei itu digelar, debat yang dijadwalkan Komisi Pemilihan Umum baru satu kali.

Sekarang, debat capres tinggal sekali lagi. Mungkin saja jumlah swing voters telah menyusut, atau justru bertambah. Empat debat yang telah berlangsung sedikit banyak bakal mengubah arus dukungan pemilih.

Konstitusi telah menetapkan syarat menang Pilpres, berlangsung satu putaran atau dua putaran. Rakyat juga punya pilihan masing-masing untuk menetapkan siapa yang bakal dipilih. Demikian pula urusan logistik, alias aspek pembiayaan, telah disiapkan oleh pemerintah. Kementerian Keuangan melaporkan biaya Pemilu 2024 (legislatif dan presiden/wakil presiden) dianggarkan sebesar Rp70,6 triliun. Total anggaran tadi dicairkan dalam tiga termin, antara 2022 sampai 2024. Tahun ini masih ada Rp37,4 triliun yang akan dikucurkan pemerintah kepada KPU, termasuk kemungkinan putaran kedua.

Soal logistik beres. Bagaimana pun pesta elektoral juga butuh biaya. Itulah harga yang harus dibayar untuk memperoleh pemimpin nasional yang legitimate. Ini tak bisa secara langsung dibandingkan dengan dana untuk bantuan sosial atau subsidi listrik yang di tahun politik ternyata bertambah besar itu (pork barrel politics yang dapat menguntungkan calon yang terkait petahana?).

Sekarang, kembali kepada rakyat: Biarkan mereka memilih pemimpinnya untuk periode 2024-2029 secara langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil. Biarkan suara rakyat di pemungutan suara, 14 Februari mendatang, yang menentukan Pilpres 2024 akan berlangsung dua putaran atau satu putaran. Jangan dipelintir dengan narasi berhemat, bagus untuk kantong pemerintah, dan lain hal yang dapat menyesatkan.

Penulis: Moh. Samsul Arifin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.