Istana Kepresidenan Terima Salinan Revisi UU TNI dan Polri, Akan Dikaji Sebelum Surpres

oleh -0 Dilihat
revisi uu tni dan polri
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono. (setpes)

Jakarta – Istana Kepresidenan telah menerima salinan revisi UU TNI dan Polri. Pemerintah berencana untuk mengkaji draf revisi yang diinisiasi oleh DPR tersebut sebelum Presiden Joko Widodo mengirimkan surat presiden (surpres) ke parlemen.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, mengonfirmasi bahwa Kementerian Sekretariat Negara telah menerima RUU tersebut pada Jumat siang, 7 Juni. “Saat ini masih dalam penelaahan untuk proses selanjutnya,” kata Dini kepada Tempo pada Kamis (13/06/2024).

Revisi undang-undang ini mendapat tantangan keras dari masyarakat sipil dan kelompok hak asasi manusia. Mereka khawatir perubahan aturan ini dapat menyebabkan penyalahgunaan wewenang di kepolisian dan membuka peluang bagi militer untuk kembali terlibat dalam urusan sipil.

Perubahan Penting dalam Revisi UU Polri dan TNI

Salah satu perubahan signifikan dalam revisi UU Polri adalah peningkatan usia pensiun petugas polisi dari 58 tahun menjadi antara 60 dan 65 tahun, tergantung pada peran mereka. Revisi ini juga memungkinkan presiden memperpanjang masa jabatan jenderal polisi bintang empat – pangkat Kapolri – tanpa batas waktu yang jelas, meskipun presiden harus berkonsultasi dengan DPR terlebih dahulu. Selain itu, polisi akan diberikan kewenangan lebih luas, termasuk dalam pengawasan dunia maya dan pekerjaan intelijen.

Usulan revisi UU TNI bertujuan untuk meningkatkan usia pensiun personel TNI pada pangkat tertentu, termasuk jenderal, dari 53 tahun menjadi antara 58 dan 60 tahun. Masyarakat sipil khawatir perubahan ini akan memungkinkan anggota militer aktif untuk ditempatkan di posisi apa pun dalam pemerintahan jika presiden menganggapnya perlu.

Baca juga: Korlantas Polri Akan Memperbarui Format SIM dengan Gambar Kendaraan

Menurut UU TNI saat ini, personel aktif hanya boleh ditempatkan di 10 kementerian dan lembaga, termasuk Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Pertahanan; Badan Intelijen Negara (BIN); Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas); dan Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas).

Respon Terhadap Kekhawatiran Sipil

Merespons kekhawatiran masyarakat sipil, Panglima TNI Agus Subiyanto menegaskan bahwa yang terjadi sekarang adalah multifungsi TNI, bukan lagi Dwifungsi ABRI. “Sekarang bukan Dwifungsi ABRI lagi, multifungsi ABRI, ada bencana kita di situ, ya kan? Jadi jangan berpikiran seperti itu,” katanya kepada wartawan di DPR pada Kamis, 6 Juni 2024.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pernyataan Agus mengkonfirmasi kekhawatiran publik tentang kemungkinan kembalinya Dwifungsi ABRI. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyatakan bahwa militer dididik, dibiayai, dan dipersiapkan untuk menghadapi peperangan (pertahanan negara), bukan untuk mengurusi urusan sipil yang berorientasi pada pelayanan publik. “Bukan untuk mengurusi urusan sipil yang orientasinya pelayanan publik,” kata Isnur dalam keterangan tertulis, Jumat, 8 Juni 2024.

Pada era pemerintahan Soeharto, mantan jenderal militer, ABRI diizinkan untuk mengambil peran sipil dalam pemerintahan di luar tugas utamanya menjaga kedaulatan nasional dan integritas wilayah. TNI menjadi alat Soeharto untuk membasmi perbedaan pendapat politik selama beberapa dekade.(DN)

Baca informasi menarik lainnya di Google Berita 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.