Mengelola Gen Z, Strategi Menghindari Status NEET di Indonesia

oleh -0 Dilihat
gen z
Pemerintah Perlu Melakukan Terobosan Untuk Mengelola Gen Z Agar Status NEET Dapat Ditanggulangi dan Dicegah Dengan Baik.

“Sebagai pemuda, gen Z merupakan amunisi. Dapat menjadi senjata untuk berperang, dan sekaligus dapat menjadi senjata makan tuan bila tidak hati-hati dijaga. Bila terabaikan Gen Z akan memicu pergolakan”.

Dr. Dyah Margani Utami*

Medio Mei kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan temuan yang mengejutkan. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2023 menunjukkan bahwa 9,89 juta orang atau 22,25% pemuda yang berusia 15-24 tahun yang seharusnya berada di masa produktif, berada pada golongan not in education, employment, and training (NEET).

Para gen Z ini tergolong NEET antara lain karena alasan putus asa, disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, dan kewajiban rumah tangga.

Padahal, dua dekade mendatang, mereka inilah generasi penentu tercapai tidaknya cita-cita Indonesia Emas 2045. Pada masa tersebut, demografi Indonesia didominasi sekitar 70% usia produktif (15-64 tahun).

Bila tidak disertai dengan kualitas hidup yang baik, maka proporsi yang dominan ini berpotensi berdampak buruk dan menyebabkan masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan yang rendah, pengangguran, dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Kita tentu tidak menginginkan terjadinya masalah dan gejolak akibat penduduk usia muda ini.

Sebagai Ilustrasi dalam 5 tahun terakhir, di berbagai negara tercatat kerusuhan yang turut dipicu oleh pengangguran pemuda disertai dengan ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi dan sosial.

Tunisia, pada awal tahun 2018 terjadi protes besar di berbagai kota termasuk di Tunis, Sidi Bouzid, dan Kasserine di mana kebijakan ekonomi pemerintah dianggap tidak efektif dalam mengatasi pengangguran yang dialami oleh pemuda.

Latar belakang ini juga memicu gerakan “Yellow Vest” (Gilets Jaunes) dari tahun 2018 sampai tahun 2020 di Paris dan kota-kota besar lainnya. Di Santiago dan seluruh negeri di Chile juga pernah mengalami kerusuhan pada tahun 2019.

Di Beirut dan beberapa kota lain Lebanon terjadi demonstrasi sebagai ekspresi kemarahan pemuda dari tahun 2019 sampai 2020.

Yang terbaru, kerusuhan di Kaledonia Baru bulan Mei 2024 yang sekilas terlihat dilatarbelakangi oleh konflik politik, namun sebenarnya berakar dari tingginya pengangguran generasi muda.

Pendidikan adalah faktor penentu utama. Pendidikan yang memadai memunculkan generasi pendobrak. Berkaca pada sejarah, pemuda terpelajar Indonesia adalah pelopor utama kebangkitan nasional yang merintis jalan kemerdekaan.

Organisasi Boedi Oetomo bermula dari sejumlah dokter dan calon dokter di Batavia yang berkumpul mendirikan suatu organisasi modern.

Banyak orang menaruh harapan pada organisasi ini dan menganggapnya sebagai motor penggerak gerakan kemerdekaan di tanah Hindia Belanda. Bahkan Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis Belanda, menyatakan: “Sesuatu yang ajaib sedang terjadi, Insulinde molek yang sedang tidur, sudah terbangun”.

Baca Juga: 10 Daerah Termiskin di Indonesia Menurut Data BPS Terbaru

Butuh Kolaborasi Antar Kementerian Untuk Menghindari NEET

Menghindari NEET artinya menjadikan Gen Z menjadi memiliki status sebagai pelajar, pekerja, ataupun sedang mengikuti pelatihan.

Ketiga status ini tentunya akan melibatkan peran Kementerian Dikbud Ristek, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, serta berbagai kementerian teknis lainnya.

Setiap kementerian memiliki target yang terkait dengan peran pemuda. Di sektor pertanian, regenerasi petani semakin mendesak. Berdasarkan data BPS, saat ini 70% lebih petani Indonesia berusia di atas 43 tahun, dan hanya 2,14 % yang tergolong dalam kategori muda atau Gen Z.

 Terkait dengan ketenagakerjaan dan UMKM, target rasio kewirausahaan sebesar 3,9% pada tahun 2024 juga masih jauh dengan capaian pada akhir tahun 2023 yang baru mencapai 3,47%. Begitupun dengan kebutuhan talenta digital sebanyak 9 juta orang dari tahun 2015 sampai 2030.

Efisiensi tentunya akan tercapai bila seluruh program dari berbagai kementerian. Terkait dengan bidang pertanian misalnya, penyediaan beasiswa bagi putra/putri petani dalam menempuh studi terkait pertanian dengan ketentuan bekerja di sektor pertanian setelah lulus.

Skema lain yang dapat menjadi alternatif adalah pembinaan pemuda di perdesaan melalui dalam kerangka Balai Latihan Kerja Komunitas (BLK Komunitas).

Selain itu, dalam rangka menciptakan kelembagaan yang berkelanjutan, pembinaan kelompok tani ataupun gabungan kelompok tani untuk membentuk badan usaha koperasi dapat dilakukan dengan melibatkan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

Melengkapi upaya integrasi lintas kementerian tersebut, peran swasta juga sangat diharapkan. Dukungan ini dapat diwujudkan antara lain dengan memanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk berbagai pendidikan dan pelatihan dengan sasaran utama petani muda atau bahkan menjadikan petani muda sebagai mitra bisnis.

Selain itu, program “Super Tax Deduction” yang memberikan insentif perpajakan yang diberikan oleh pemerintah bagi industri yang terlibat dalam melaksanakan program-program pada pendidikan vokasi bidang pertanian harus terus digalakkan.

Jika program ini menguntungkan pihak swasta, tentu pihak swasta akan tergerak untuk telibat dalam Pendidikan dan pelatihan vokasi bidang pertanian.

Urgensi upaya ini sangat tinggi bila dikaitkan dengan era bonus demografi saat ini dengan proporsi penambahan pemuda usia 15-24 tahun yang signifikan.

Bonus demografi yang dimaksud adalah masa di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk Indonesia.

Data BPS menunjukkan bahwa puncak bonus demografi terjadi pada tahun 2022. Pada tahun 2020, sebanyak lima provinsi di Indonesia telah berada pada tahap akhir bonus demografi sedangkan lainnya masih berada dalam tahap awal demografi.

Lima provinsi yang berada pada tahap akhir bonus demografi adalah DKI Jakarta, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.

Peningkatan jumlah penduduk usia produktif menjadi modal dan sumber daya yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial suatu negara.

Dalam penelitiannya tentang dampak perubahan demografi terhadap pertumbuhan ekonomi, tabungan, dan kemiskinan pada tahun 2016, Cruz dan Ahmed memperkirakan setiap perubahan 1 persen pada populasi usia kerja suatu negara dapat meningkatkan pertumbuhan PDB per kapita sebesar 1,5 persen dan 0,8 persen tabungan bagian dari PDB, yang berakibat pada pengurangan jumlah kemiskinan rata-rata sebesar 0,76 persen.

Sebagai penutup, negara yang berhasil mengelola bonus demografinya memiliki tiket untuk menjadi negara maju dan keluar dari jebakan kelas menengah.

Dan ini sdh dilakukan dengan baik oleh Jepang dan Korea Selatan.yang berhasil mengemas bonus demografi menjadi amunisi untuk keluar dari middle-income trap.

Tentu saja bila lapangan pekerjaan yang sesuai dengan ketrampilan dan keahliannya, bukan manfaat, namun bencana yang akan didapat.(*)

*Dr. Dyah Margani Utami, adalah Pengajar Pada Departemen Ilmu Ekonomi – Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia, serta ASN pada Kementerian Pertanian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.