Perempuan Pengupas Rajungan Lampung Sangat Berjasa Jadi Agen Konservasi

oleh -3 Dilihat
IMG 7984 1

Diskursus Network – Provinsi Lampung dengan luas wilayah 60.200 kilometer persegi sebanyak 41,2 persen diantaranya merupakan wilayah perairan. Kondisi itu telah menjadikan Lampung sebagai salah satu daerah yang menggantungkan perekonomiannya dari sektor perikanan.

Hal tersebut terlihat nyata dari tingginya nilai ekspor perikanan Lampung setiap tahunnya. Berdasarkan data terakhir jumlah volume ekspor perikanan Lampung tepatnya pada tahun 2020 mencapai 17.243.955 ton.

Tingginya nilai ekspor perikanan Lampung itu ditopang dari ekspor sejumlah komoditi perikanan tangkap laut dan budidaya.

Seperti udang yang menyumbang sebanyak Rp811 miliar, lalu rajungan dengan volume 576 kilogram, nilai ekspornya mencapai Rp173 miliar, selanjutnya cumi-cumi volumenya mencapai 213 kilogram dengan nilai Rp18 miliar, dan produk ikan beku bernilai Rp22 miliar. Dan rumput laut kering yang nilai ekspornya mencapai Rp2 miliar dengan volume 317 kilogram.

Dengan sumbangan nilai dan volume ekspor tertinggi kedua, komoditi rajungan menjadi salah satu hasil perikanan yang memiliki potensi di Lampung, dimana provinsi ini telah menyumbang produksi rajungan nasional hingga 15 persen per tahun.

IMG 7974 1

Di provinsi dengan julukan “Sai Bumi Ruwa Jurai” telah bermunculan pula industri rajungan yang berada di pesisir timur tepatnya di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tengah, dan Lampung Timur.

Tumbuhnya industri rajungan terlihat dari banyaknya unit pengolahan ikan, mini plant, yang tersebar di sejumlah daerah penghasil rajungan dan tentunya dibalik potensi besar tersebut, juga ada peranan 4.000 orang nelayan rajungan dan 2.000 orang pemilah rajungan yang menggantungkan hidup pada komoditi perikanan ini.

Melihat potensi besar serta kebergantungan ekonomi dari para pelaku usaha hingga nelayan dan pemilah atas komoditi rajungan, tentunya telah menimbulkan sejumlah permasalahan salah satunya maraknya eksploitasi ekosistem rajungan.

Penangkapan berlebih, alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan mengganggu regenerasi rajungan menjadi salah satu permasalahan pelik yang mengakibatkan penurunan populasi rajungan, serta makin jauhnya lokasi penangkapan rajungan oleh para nelayan.

Melihat adanya sejumlah permasalahan yang berdampak langsung kepada kesejahteraan dan perekonomian masyarakat terutama nelayan serta pemilah rajungan, telah menggerakkan hati para wanita pemilah rajungan untuk belajar menjaga ekosistem dan mengedukasi penangkapan rajungan berkelanjutan.

Peran para wanita pemilah yang juga istri nelayan rajungan sebagai agen konservasi telah terlaksana secara nyata di beberapa daerah salah satunya di Desa Kuala Teladas, Kabupaten Tulang Bawang.

Eliya seorang istri nelayan yang terkadang pula memilah rajungan, memulai komitmen untuk menjadi agen konservasi rajungan di lingkungannya.

Wanita yang berperangai ramah serta haus akan informasi tersebut terus berusaha mengedukasi warga sekitar yang berprofesi sebagai nelayan rajungan untuk menerapkan pola penangkapan berkelanjutan.

“Rajungan yang masih kecil, sedang bertelur jangan diambil dibawa pulang tapi dikembalikan ke laut. Kasihan kalau dibawa pulang mati dan populasi rajungan berkurang karena belum sempat bertelur,” ujar Eliya dilansir dari Antara, Jumat (22/10/2021).

Ada siasat unik yang ia lakukan untuk terus mengedukasi para nelayan serta wanita pemilah rajungan di desa yang hampir seluruh warganya berprofesi sebagai nelayan rajungan itu.

Dalam menyampaikan informasi mengenai penangkapan rajungan berkelanjutan, dirinya menargetkan istri nelayan dan wanita pemilah rajungan sebagai komunikator penyebarluasan informasi kepada para nelayan rajungan.

“Lewat istri nelayan tentu informasi penangkapan yang ramah lingkungan lebih cepat sampai kepada para nelayan, sedangkan untuk wanita pemilah pastinya saat mereka tahu akan dengan sendirinya memilah produk rajungan yang baik, kita sisipkan info itu melalui obrolan santai sembari menunjukkan kalau pola berkelanjutan ini akan membuat nelayan jadi sejahtera karena hasil tangkapan banyak,” ucapnya dengan bersemangat.

Ia melanjutkan, kesadaran diri menjaga keseimbangan ekosistem dan perekonomian menjadi hal wajib yang harus terus disebarkan kepada nelayan dan wanita pemilah rajungan.

“Saya tahu mengenai penangkapan berkelanjutan dari pemerintah setempat serta dari yayasan nirlaba berbasis lingkungan melalui kampanye rajungan untuk masyarakat sejahtera. Jadi info itu disebarkan lagi ke teman-teman setidaknya agar mereka sedikit demi sedikit paham kalau kesejahteraan kita berasal dari alam jadi harus juga menjaganya,” katanya.

Menurutnya, dalam proses edukasi dan penyebarluasan informasi tersebut sempat terjadi kendala dan muncul stigma negatif dari masyarakat setempat, akan tetapi dirinya terus bersemangat menjadi agen konservasi rajungan.

“Sempat ada cemooh karena dianggap sok pintar, tapi tetap saja kita cerita ke mereka. Kadang disini juga perlu ada orang-orang yang kompeten datang untuk edukasi, sebab mereka mungkin akan lebih percaya,” ucapnya pula.

Cerita lain dari peran para wanita pengupas rajungan sebagai agen konservasi juga dikatakan oleh Wagiyem salah seorang pemilah rajungan asal Lampung Timur.

Sembari memisahkan kulit rajungan dengan daging menggunakan jari-jemarinya, wanita berusia 50 tahun itu menceritakan bahwa masih banyak ditemukan nelayan yang belum cukup paham akan konsep penangkapan berkelanjutan.

Menurutnya, banyak diantara nelayan memilih menangkap rajungan tidak terukur karena himpitan ekonomi terutama di tengah pandemi COVID-19.

Meski demikian dirinya tetap mengedukasi warga sekitar yang berprofesi sebagai nelayan ataupun pemilah rajungan agar dapat melepasliarkan rajungan bila memiliki ukuran yang belum siap tangkap ataupun yang tengah bertelur.

Bagaikan gayung bersambut kerja keras wanita pemilah rajungan serta istri nelayan di Lampung sebagai agen konservasi, nyatanya telah berjalan seiring dengan inisiatif Pemerintah Provinsi Lampung untuk membentuk inisiatif pengelolaan perikanan rajungan berkelanjutan (IPPRB) sejak 12 tahun silam.

Dengan tujuan melindungi ekosistem rajungan melalui pembentukan wilayah pemijahan, pelarangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, meningkatkan kualitas dan prasarana rantai dingin untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, serta dikeluarkannya keputusan Gubernur Lampung nomor G/164/V.19/HK/2018.

Selain itu melalui konsep ekonomi biru pemerintah setempat juga terus berupaya melakukan optimalisasi sumber daya perairan dengan tetap menjamin berkelanjutan ekosistem.

“Konsep ekonomi biru ini mulai diterapkan di Lampung, jadi semua kegiatan budidaya ataupun penangkapan hasil perikanan harus berkelanjutan, sehingga ada keseimbangan antara menjaga kelestarian lingkungan dan memaksimalkan pertumbuhan ekonomi,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Liza Derni.

Ia mengatakan melalui penerapan konsep ekonomi biru di Lampung diharapkan beragam produk perikanan dapat dengan mudah diterima pasar ekspor karena telah menerapkan sistem berkelanjutan.

Hal serupa juga dikatakan oleh Progam Communicator Officer yayasan nirlaba berbasis konservasi Coral Triangle Center, Yoga Putra.

Menurut dia, untuk mewujudkan keseimbangan ekosistem rajungan dan pertumbuhan ekonomi demi menopang kesejahteraan nelayan, edukasi kepada para nelayan serta masyarakat pesisir pantai akan terus dilakukan bersama dengan pemerintah daerah.

“Saat ini industri rajungan di Lampung memberikan dampak ekonomi nyata dimana ada 4.000 nelayan dan 2.000 pemilah menggantungkan hidup dari komoditi unggulan Lampung ini, sehingga edukasi keberlangsungan ekosistem yang baik akan terus dilakukan agar populasi rajungan pun terjaga dan tentunya kami saling bersinergi dengan pemerintah dan para nelayan,” katanya pula. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.